Nelayan adalah
orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Dalam perstatistikan
perikanan perairan umum, nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan
operasi penangkapan ikan di perairan umum. Orang yang melakukan pekerjaan
seperti membuat jaring,
mengangkut alat-alat penangkapan ikan ke dalam perahu atau kapal motor, mengangkut
ikan dari perahu atau kapal
motor, tidak dikategorikan sebagai nelayan (Departemen Kelautan dan
Perikanan,2002)
Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok,
yaitu nelayan
buruh, nelayan juragan dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan
yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. Sebaliknya nelayan juragan
adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain.
Sedangkan nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap
sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain (Subri, 2005)
Sumberdaya
nelayan dicirikan oleh pendidikan dan keterampilan yang rendah, kemampuan
manajemen yang terbatas. Taraf hidup penduduk desa pantai yang sebagian besar
nelayan sampai saat ini masih rendah, pendapatan tidak menentu (sangat
tergantung pada musim ikan), kebanyakan masih memakai peralatan tradisional dan
masih sukar menjauhkan diri dari prilaku boros (Sitorus, 1994). Definisi Nelayan dan Rotasi Alat Tangkap
Dunia berubah dan begitu cepat, tetapi tidak semua. Peralihan moda produksi manusia dari berburu ke masyarakat agraris bahkan sampai ke masyarakat industri telah terjadi. Namun, zaman modern —bahkan katanya sudah posmodern— masih menyisakan sekelompok pemburu. Perairan luas menjadi rumah bagi mereka dan daratan adalah rantau. Merekalah nelayan, mengarungi sungai, danau dan bahkan samudera untuk memburu ikan dan makhluk air lainnya. Setiap perairan baik sungai, danau maupun laut menjadi lahan perburuan mereka. Tentu saja, yang paling menonjol dan khas adalah perburuan di laut, yang sudah identik dengan nama profesi mereka.Indonesia —sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan tentu saja dengan wilayah perairan yang jauh lebih luas dari daratannya— tentu mengandung potensi sumberdaya ikan yang sangat besar. Para nelayan menjadikan setiap pesisir atau pulau-pulau kecil yang dekat dengan pemusatan sumberdaya ikan sebagai pangkalan-pangkalan mereka untuk beraksi. Dengan berbagai peralatan memburu ikan, dari yang paling tradisional sampai yang paling modern, mereka memburu ikan ke mana pun ikan itu pergi. Selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, mereka juga menjadi penjamin ketersediaan ikan sebagai sumber protein hewani untuk konsumsi domestik maupun diekspor ke luar negeri.
Sebelum kemunculan konsep negara modern dengan segala tapal batas laut teritorial sampai zona ekonomi eksklusif (ZEE), nelayan mengarungi samudera sampai mendapatkan tangkapan tidak peduli ke mana pun larinya. Nelayan Bugis misalnya, entah sudah sejak kapan melayari perairan Samudera Indonesia yang antara lain menjadi wilayah kedaulatan Australia di zaman sekarang ini. Dengan adanya batas politik di lautan, perilaku nelayan pun harus berubah. Kebiasaan zaman dulu tidak bisa diterus-teruskan sampai di zaman sekarang. Negara di mana mereka kini menjadi warganegaranya, Indonesia, gagal memenangkan sejumput air penuh ikan di perairan itu karena konvensi Internasional. Nelayan Bugis tidak lagi bisa mengejar-ngejar buruan sampai ke situ.
Dalam tataran nasional, nelayan pada akhirnya juga menjadi subjek pengaturan hukum nasional. Dahulu mereka cukup menyebut diri mereka sebagai nelayan. Kini, negara membedakan mereka menjadi “Nelayan” dan “Nelayan Kecil,” begitulah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. “Nelayan” dikatakan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Sedangkan, “Nelayan Kecil” adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebuhan hidup sehari-hari. Apa sebenarnya maksud pembagian yang seperti ini? Lagipula, bukankah tujuan “mata pencaharian” adalah “pemenuhan kebutuhan sehari-hari”?
Nelayan Kecil Juga Menjual Hasil Tangkapan
Meski diberi penjelasan, peraturan perundang-undangan di Indonesia biasanya ‘miskin’ penjelasan. Namun, barangkali beginilah masyarakat awam menangkap maksud dari pengertian “nelayan” dan “nelayan kecil”. Nelayan kecil menangkap ikan sebatas untuk konsumsi rumah-tangga, yang berarti memenuhi kebutuhan ikan sehari-hari —walaupun makan ikan tiap hari tentu membosankan. Nelayan, sementara itu, menangkap ikan dalam jumlah yang lebih banyak dari yang dibutuhkannya sehari-hari. Dengan demikian, berarti ia menangkap ikan tidak sebatas untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya sendiri, tetapi juga kebutuhan sehari-hari orang lain; dengan kata lain, untuk dijual. Akan tetapi, apakah itu berarti nelayan kecil tidak boleh menjual ikan tangkapannya? Sebaliknya, apakah nelayan tidak boleh memakan ikan tangkapannya? Pertanyaan konyol ini seharusnya tidak usah muncul apabila pengertian konyol di atas tidak ada.
Dalam kondisi di lapangan, khususnya yang dapat diamati di Kepulauan Seribu —gugusan pulau-pulau yang walaupun berada di utara Banten namun masuk dalam wilayah DKI Jakarta— pengertian “Nelayan” dan “Nelayan Kecil” rancu dan tidak sesuai dengan kondisi nyata. Sungguh sulit mencari nelayan kecil yang hasil tangkapannya semata-mata dikonsumsi sendiri. Nelayan Pulau Panggang, misalnya, —salah satu pulau di Kepulauan Seribu sebelah utara— pergi menangkap ikan di sore hari, kemudian pulang dengan tiga atau empat ekor kerapu macan yang satu ekornya bisa mencapai satu kilogram. Mereka kemudian akan menjual ikan tangkapan itu barang tiga ekor kepada tengkulak untuk mendapatkan uang membeli kebutuhan lainnya seperti beras atau minyak goreng, sedangkan sisanya untuk dimakan. Mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi toh menjual ikannya juga, mungkin, sebagai mata pencahariannya (?!).
Kehidupan nelayan —seperti halnya pemburu; dan nelayan memang pemburu— selalu naik turun. Ikan tangkapan bergantung pada peruntungan, kondisi cuaca dan musim. Kehidupan nelayan tidak selalu bisa dipastikan sebagaimana halnya petani dengan lahan yang pasti tanaman di atasnya yang bisa diprediksi hasilnya. Sumber daya ikan —demikian menurut UU Perikanan— bergerak bebas di perairan laut yang tidak bisa selalu dipastikan keberadaannya. Nelayan begitu tergantung pada musim dan pengetahuan turun-temurun terkait navigasi alam dan tempat yang biasa didatangi ikan. Jenis ikan pasti berbeda di setiap titik sesuai dengan kondisi alam. Hal ini menjadi faktor yang menyebabkan setiap nelayan akan berbeda cara kerjanya dari satu tempat ke tempat lain, dalam satu kondisi musim ke musim yang lain.
Rotasi Alat Tangkap
Kepulauan Seribu Utara memiliki sumberdaya ikan yang cukup beragam. Ikan hias yang variatif sampai ikan-ikan konsumsi yang juga tidak kalah variatif dan cukup diminati pasar tersedia di sana. Ikan-ikan ini pun masing-masing jenisnya memiliki musim-musim tangkap tertentu yang tersendiri, di mana pada saat itu mereka cukup banyak untuk ditangkap. Nelayan membutuhkan cara-cara tersendiri untuk menangkap tiap-tiap jenis ikan ini. Tentu saja perahu menjadi alat yang paling vital untuk melakukan pekerjaan menangkap ikan ini.
Sehari-hari, para nelayan Pulau Panggang terbiasa menggunakan bubu. Pada pagi hari, mereka memasang bubu untuk kemudian diambil pada sore harinya. Ketika akan mengambil bubu sore harinya, para nelayan menyempatkan memancing ikan atau menumbak —sebuah keahlian yang relatif baru dalam menangkap ikan dengan menggunakan tumbak (tombak) untuk menambah hasil tangkapan. Paling tidak satu hari itu, mereka melakukan aktivitas memasang bubu dan memancing atau menumbak.
Setiap nelayan umumnya memiliki perahu kecil dengan ukuran 1,5 sampai 2 meter, dan semuanya sudah menggunakan sekurang-kurangnya motor tempel. Hal ini wajar mengingat motorisasi armada nelayan tradisional ini setidaknya digalakkan pemerintah semenjak tahun 1970-an. Perahu kecil bermotor ini dipergunakan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap bubu, pancing dan tumbak. Pada musim ikan tongkol, nelayan akan menggunakan pancing dengan umpan bulu ayam. Biasanya, cara ini dilakukan sendiri atau berdua dengan menggunakan perahu-perahu kecil mereka. Jika musim tongkol sudah usai mereka biasanya hanya akan memasang bubu atau menumbak saja. Selain itu, ada juga yang menjadi buruh pada juragan muroami pada musim tersebut.
Nelayan yang memiliki modal cukup besar, biasanya akan menggunakan alat tangkap muroami. Bermodalkan perahu berbobot 3 sampai 5 GT (gros ton), jaring muorami dan kompresor —yang menurut salah seorang pemiliknya dapat menghabiskan hampir seratus juta rupiah, mereka mempekerjakan 15 sampai 25 orang nelayan buruh sebagai awak kapal mereka. Dengan peralatan seadanya, yaitu selang yang dihubungkan dengan kompresor, beberapa awak menjadi penyelam untuk memasang jaring muroami dan menggiring ikan agar memasuki jaring tersebut. Sebagian lagi bertugas untuk menarik jaring yang telah dipenuhi oleh ikan. Satu orang memiliki pos khusus yaitu mengoperasikan kompresor. Untuk memenuhi kebutuhan makan ditempatkan satu orang juru masak untuk seluruh awak. Mereka semua bekerja dalam satu komando dari Panglima Laut yang biasanya menjadi nakhoda kapal tersebut. Pada musim angin kencang, mereka memilih tidak melaut dan kembali melakukan aktivitas seperti biasa —memancing, membubu atau menumbak.
Sistem rotasi alat tangkap ini menjadi suatu konsekuensi tersendiri bagi para nelayan ini. Alam menjadi penantang terberat bagi nelayan dengan modal yang terbatas. Mereka terpaksa menyesuaikan diri dengan alam dengan segala keterbatasannya. Tentunya menjadi sebuah kebingungan tersendiri terhadap pengertian “Nelayan” dan Nelayan Kecil” dalam UU Perikanan. Ketika mata pencaharian terancam, maka semua hanya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan ikan seadanya. Itupun ada juga yang dijual sekadar menukar dengan beras atau minyak goreng. Karena itu, dari kecenderungan yang muncul, pengertian “Nelayan” dan “Nelayan Kecil” dalam UU Perikanan bersifat temporal. Pemburu memang begitu dinamis kehidupannya. UU Perikanan jelas gagal mengakomodir fenomena rotasi alat tangkap yang inheren dengan mata pencaharian para nelayan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar