Rabu, 12 Juni 2013

Industri Rumput Laut Sulsel Mendesak

          Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki berbagai sumber daya alam yang dapat dikelola secara profesional, sehingga menghasilkan nilai yang lebih untuk kesejahteraan masyarakat khususnya yang tinggal di daerah pesisir. Salah satu contohnya adalah pengelolaan atau budidaya rumput laut yang hingga kini terus melaju akan permintaan.
          Pasalnya, perkembangan rumput laut Indonesia terus mengalami peningkatan seiring dengan banyaknya permintaan akan rumput laut dunia. Dimana rumput laut merupakan salah satu komoditi hasil laut yang penting dan di tanah air menjadi salah satu komoditas yang banyak disukai oleh masyarakat, karena selain cara budidayanya cukup praktis, juga harganya cukup menggiurkan bagi petani. Bahkan sebagai penghasil devisa negara dengan nilai ekspor yang terus meningkat setiap tahun.
           Khusus di Sulawesi Selatan yang memiliki garis pantai 1.937 km dan luas areal pertambakan kurang lebih 58.000 hektare, sehingga potensi untuk pengembangan budidaya rumput laut di daerah ini cukup menjanjikan. Bahkan beberapa tahun terakhir ini budidaya rumput laut yang ada di Sulsel cukup untuk meningkatkan volume ekspor yang hingga kini telah melampaui angka satu juta ton. Ini merupakan hal yang harus didukung oleh perbaikan yang lebih baik lagi
.
            Meski diketahui bahwa budidaya rumput laut saat ini yang dikembangkan oleh masyarakat hanya dua jenis karena memang itulah yang masuk dalam kategori memiliki nilai ekonomis yaitu antara lain Euchema cottoni dan Euchema spinosum yang tempat hidupnya di laut. Sedangkan yang hidup di tambak adalah Gracilaria, meski yang lainnya seperti Gelidium dan Hypena juga cukup baik untuk budidaya. Namun, yang paling banyak dibudidayakan adalah Gracilaria dan Euchema cottoni.
           Walaupun masih banyak jenis yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, tapi tidak seluruhnya berada di perairan Indonesia, melainkan di negara lain sehingga yang terlanjur atau kebanyakan masyarakat mengenalnya hanya dua jenis rumput laut yaitu Gracilaria dan Euchema cottoni. Meski tidak disangkal bahwa jenis Gracilaria yang dibudidayakan di tambak khususnya di Palopo tergolong yang paling baik mutunya, namun belakangan kualitasnya menurun sehingga harganya juga turun. Sedangkan khusus Euchema cottoni yang hidup di laut memiliki prospek yang sangat bagus. Betapa tidak, jika jenis ini hampir seluruh masyarakat yang berdomisili di pesisir pantai melakukan kegiatan budidaya. Seperti halnya di Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Pangkep, Barru dan lain-lain.
            Hal ini terbukti dalam pengembangan rumput laut selama beberapa tahun terakhir telah berkontribusi signifikan terhadap pengentasan kemiskinan, penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi. Dari pemantauan penulis di lapangan dimana masyarakat yang telah melakukan budi daya rumput laut tingkat kesejahtraannya cukup meningkat. Bahkan tidak heran jika masyarakat pesisir banyak yang berganti kopiah berwarna putih alias sudah menuaikan ibadah haji dan membeli kendaraan roda dua serta rumahnya juga sudah bagus-bagus. Ini menandakan bahwa budi daya rumput laut ke depan bisa menghasilkan atau menyulap seseorang menjadi orang terpandang.
               Oleh karena itu, rumput sudah dikembangkan oleh beberapa kabupaten/kota yang ada di Sulsel yaitu Palopo, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Bone, Wajo, Sinjai, Bulukumba, Selayar, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, Makassar, Maros, Pangkep, Barru dan Pinrang. Ini berarti bahwa rumput laut di daerah ini cukup besar, sehingga memang memerlukan industri tersendiri dalam mengelolahnya menjadi produk bahan jadi atau langsung dimanfaatkan. Tidak perlu lagi mengirim bahan bakunya ke luar negeri jika industrinya sudah tersedia.
             Olehnya itu, yang menjadi persoalan dalam melakukan budi daya rumput laut secara besar-besaran adalah kurangnya industri yang menerima hasil panen dari masyarakat. Pasalnya, jika hasilnya cukup besar maka rumput laut ini mau dikirim kemana jika sektor industri dalam pengelolaan rumput laut tidak tersedia. Meski diketahui bahwa Philipina yang tergolong negara kecil tapi siap menampung (membeli) hasil budi daya dari Indonesia dalam bentuk bahan baku, tapi apakah bangsa ini hanya mengandalakan pengiriman bahan baku yang nilai jualnya sangat rendah bila dibandingkan rumput laut yang dikirim setelah diolah.
           Jangan heran jika bangsa Indonesia khususnya di Sulsel masyarakat selalu mengandalkan bahan baku untuk diekspor dari hasil jeri payanya. Sehingga petaninya tidak pernah meningkat karena nilai jualnya sangat rendah. Meski saya tadi katakan bahwa pembudidaya rumput laut banyak yang berhasil naik haji. Tapi lebih banyak lagi jika hasilnya sudah dalam proses bentuk bahan jadi yang tentunya memiliki nilai jualnya juga lebih tinggi. Artinya pabrik atau industri yang akan beli dari petani dengan harga tinggi karena sudah mampu memprosesnya sehingga harganya juga jauh lebih baik.
            Nah, inilah salah satu problem yang harus dicarikan solusinya sehingga ke depan potensi ini dapat memberikan hasil yang maksimal dan bisa meningkatkan Pemasukan Asli Daerah (PAD) Sulsel. Padahal, jika sektor industri yang disiapkan oleh pihak yang berwenang, maka tidak heran kalau nilai jual dari pada rumput laut itu dapat dihargai cukup tinggi.
            Olehnya itu itu, industri rumput laut di Sulsel sangat mendesak mengingat hasil produksi rumput yang melampuai target dimana produksi itu mencapai satu juta ton per tahun, sehingga membutuhkan suatu pabrik. Khusus di Sulsel industri rumut laut yang dibutuhkan sebanyak empat unit masing-masing mewakili wilayah. Jadi bisa ditempatkan di Bantaeng yang mampu mengkafer Jeneponto, Takalar, Bukukumba dan Selayar. Sedangkan di Bone juga mengafer wilayah di sekitar daerah tersebut. Begitupula di Palopo yang mengkafer daerah lainnya, serta Kabupaten Pangkep yang mengkafer wilayah Maros, Barru, Pare-Pare dan sekitarnya.  
          Jika ini diadakan maka harga rumput laut langsung terdongrak sehingga petani pun dapat merasakan dampaknya. Bahkan tidak menutup keungkinan masyarakat bisa beralih pekerjaan lantaran rumput laut ini sangat mudah dan cepat mendapatkan hasil.
          Untuk merealsiasikan industri ini tidak lain adalah pemerintah, karena kapan pemerintah betul-betul serius ingin melihat rakyatnya sejahtera maka industri rumput laut bukanlah sesuatu yang susah. Tapi kalau hanya perhatian pemerintah setengah-setengah saja maka itu tidaklah bisa terwujud.
          Artinya yang berhak mendatangkan industrinya di Sulsel agar memiliki kepekaan dan bertanggungjawab atas perkembangan pembangunaan di daerah ini demi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat pesisir yang selama ini terkesan dan dianggap “miskin”. Betapa tidak, jika rumput laut yang berlimpah tapi pabrik atau industrinya tidak ada di Sulsel, sehingga mau atau tidak terpaksa diekspor dalam bentuk bahan baku yang memiliki nilai jual rendah.
            Wajar saja, kalau masyarakat selalu banting tulang untuk meningkatkan taraf hidupnya, tapi toh tidak bisa lantaran hasil jerih payahnya hanya dihargai sangat rendah. Padahal industri ini cocoknya dipikirkan oleh instansi yang terkait sebagai partner dari dinas lain untuk mengembangkan potensi Sumber Daya Alam yang dimiliki daerah ini.
              Hal inilah yang belum jalan dalam pemerintahan sehingga SDA yang dimiliki banyak, tapi hasilnya dinikmati oleh negara lain yang mengolahnya menjadi produk sudah jadi, sehingga dijual kembali kepada konsumen dengan harga jauh lebih tinggi.
            Mudah-mudahan dengan kepekaan dan kepedulian pemerintah melihat peningkatan hasil budidaya rumput lau di Sulsel cukup menggembirakan hasil panen, sehingga ada keinginan untuk mendirikan pabrik atau industri agar hasil dari para petani ini dapat dihargai sesuai dengan keringatnya. Semoga… !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar